Perampok uang rakyat sepertinya julukan yang cocok disandangkan bagi koruptor. Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang membuat rakyat menderita secara tidak langsung. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya, untuk itu perlu penanganan yang cepat, mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 2 ayat (1) menjelaskan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 ( empat ) tahun dan paling lama 20 ( dua puluh ) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 ( dua ratus juta rupiah ) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 ( satu milyar rupiah ).
Korupsi merupakan penyelewengan terhadap wewenang publik yang timbul karena kurangnya kontrol terhadap kekuasaan yang dimiliki dan terbukanya kesempatan untuk menyelewengkan kekuasaan tersebut. Disamping itu, motif- motif pribadi juga turut mendorong terjadinya tindakan korupsi, seperti ingin cepat menjadi kaya dan memperoleh pengakuan akan status sosial. Faktor penyebab tindakan korupsi ini bisa bersifat internal dan bisa juga bersifat eksternal. Dalam hal ini A. H. Nasution berpendapat bahwa penyebab korupsi lebih disebabkan karena lemahnya mental seseorang karena desakan ekonomi. Menurutnya, pada awalnya jumlah pelaku korupsi masih kecil tetapi karena tidak ditindak dengan tegas, maka koruptor jumlahnya semakin banyak.
Soerjono Soekanto menyebutkan beberapa sebab seseorang melakukan korupsi, yaitu:
1. Terlalu mementingkan nilai kebendaan yang kemudian menjadi ukuran untuk menentukan prestise seseorang dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan kecenderungan untuk memperlihatkan kekayaan material pada umum.
2. Kebutuhan dasar manusia tidak mungkin terpenuhi dengan imbalan kerja yang diperoleh bagi sebagian masyarakat.
3. Terlampau mudah untuk memberikan kebijaksanaan atau kebijakan.
Kebijaksanaan atau kebijakan diartikan sebagai keleluasaan. Kebijaksanaan atau kebijakan diambil dari bahasa Belanda yaitu Beleid. Keleluasaan yang memberi akibat baik yaitu Wijsbeleid, sedangkan keleluasaan yang memberi akibat buruk atau penyelewengan yaitu Wanbeleid. Jadi, jika hanya disebut Beleid saja maka baik itu berupa hal baik atau buruk tetap berupa kebijaksanaan atau kebijakan.
Sedangkan pakar korupsi Robert Klitggard menulis munculnya korupsi disebabkan oleh terbukanya kesempatan, resiko kecil dan mental yang lembek. Pelaku korupsi juga beranggapan tindakan itu dilakukan selain ada kesempatan yang relatif terbuka lebar juga resiko yang diperoleh relatif kecil. Lembeknya mental masyarakat berkaitan langsung dengan pendidikan. Budaya instan, krisis keteladanan, merupakan lahan bertumbuh suburnya korupsi. Menurutnya potensi korupsi melekat erat dalam kekuasaan.
Selain itu, korupsi juga disebabkan karena adanya budaya masyarakat khususnya pada masyarakat Jawa. Dalam budaya Jawa kemasan-kemasan korupsi sudah sangat halus bahkan kadang tidak terasa kalau itu korupsi. Istilahnya pun sangat sopan seperti uang administrasi, tanda terima kasih, tali kasih, uang lelah. Penggunaan istilah makin diperhalus tidak hanya menjadikan budaya yang biasa di masyarakat tetapi dalam masyarakat sendiri kemudian muncul perasaan tidak enak dan keharusan melakukan penyuapan, penyogokan, sekalipun itu penyelewengan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar