Rabu, 28 Desember 2011

Hukum Perkembangan Cara Berfikir Manusia

Menurut Comte ada tahap perkembangan intelektual yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumnya. Tahap pertama dinamakan tahap teologis atau fiktif, yaitu suatu tahap dimana manusia menafsirkan gejala-gejala disekelilingnya secara teologis, yaitu dengan keuatan-kekuatan yang dikendalikan roh dewa-dewa atau Tuhan Yang Maha Kuasa. Penafsiran ini penting bagi manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang memusuhinya dan untuk melindungi dirinya dari faktor-faktor yang tidak terduga timbulnya. Tahap ini menjadi ciri dunia sebelum tahun 1300. Selama masa itu dititikberatkan pada kepercayaan bahwa kekuatan supranatural dan figur-figur religius yang berwujud manusia menjadi akar segalanya. Manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk selain insani. Singkatnya, pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah ( sebab pertama ). Di sini, manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak. Artinya, di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.

Comte juga membaginya ke dalam periode fetisisme, politeisme, dan monoteisme. Fetisisme, bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Monoteisme, bentuk pikiran manusia atau kepercayaan akan banyak dewa diganti dengan kepercayaan akan satu yang tertinggi.
Tahap kedua merupakan perkembangan dari tahap pertama yaitu tahap metafisik. Tahap ini kira-kira berlangsung antara tahun 1300 sampai 1800. Pada tahap ini manusia menganggap bahwa didalam setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Pada tahap ini manusia masih terikat oleh cita-cita tanpa verifikasi karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam. Tahap ini bisa juga disebut sebagai tahap transisi dari pemikiran Comte. Tahapan ini sebenarnya hanya merupakan varian dari cara berpikir teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak, dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam. Terjemahan metafisis dari monoteisme itu misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep “alam”, sebagai asal mula semua gejala.
Tahap selanjutnya adalah tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris atau ilmu pengetahuan sebagai sumber pengetahuan terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara sifatnya ( tidak mutlak ), semangat positivisme memperlihatkan suatu keterbukaan terus-menerus terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas. Akal budi sangatlah penting, seperti dalam periode metafisik, tetapi harus dipimpin oleh data empiris.
Comte mengakui bahwa perubahan dari satu tahap ke tahap yang berikutnya tidak pernah terjadi secara tiba-tiba, sehingga memperlihatkan suatu garis pemisah yang jelas dengan yang sebelumnya, serta memperlihatkan suatu awal tahap yang baru.

Referensi:
Banyu Bening. 2010. August Comte dan Aliran Positivisme.http://www.elfilany.com/2011/03/auguste-comte-dan-aliran-positivisme. html diakses pada tanggal 19 September 2011
Johnson, Doyle Paul. 1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid 1. Jakarta: PT Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar