Selasa, 06 Desember 2011

Berjualan "Clorot" makanan tradisonal khas Purworejo di Pasar Beringharjo

PENDAHULUAN
§  LATAR BELAKANG
Pasar Beringharjo merupakan pusat kegiatan ekonomi masyarakat Yogyakarta selama ratusan tahun dan keberadaannya mempunyai makna filosofis. Pasar yang telah berkali-kali dipugar ini melambangkan satu tahapan kehidupan manusia yang masih berkutat dengan pemenuhan kebutuhan ekonominya. Selain itu, Beringharjo juga merupakan salah satu pilar 'Catur Tunggal' ( terdiri dari Kraton, Alun-Alun Utara, Kraton, dan Pasar Beringharjo ) yang melambangkan fungsi ekonomi. Pasar ini memiliki daya tarik tersendiri bagi pengunjung karena memang letaknya yang sangat strategis yaitu dikawasan Malioboro. Hal ini yang membuat Pasar Beringharjo sangat penting bagi kemajuan perekonomian masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya yang mencari nafkah disini baik sebagai pedagang, penjual jasa dan lain-lain.
Pasar Beringharjo sebagai salah satu pasar tradisional yang ada di Yogyakarta memiliki peranan yang juga tidak kalah penting dalam menjaga kelestarian makanan dan jajanan tradisonal asli Yogyakarta maupun dari daerah lain di seluruh Indonesia. Karena selain sebagai pusat penjualan batik, seperti batik buatan Yogyakarta, Solo dan pekalongan, mulai “batik bahan” maupun “batik jadi” berbahan katun hingga sutra, dari harga puluhan ribu sampai ratusan ribu yang banyak kita temukan di hampir seluruh pasar bagian barat, disana juga banyak ditemukan pedagang makanan dan jajanan tradisional seperti geplak, brem, sego pecel, bakpia patuk, clorot dan lain sebagainya. Makanan clorot sendiri merupakan makanan tradisonal khas Purworejo yang harus dilestarikan keberadaannya karena sekarang sudah jarang ditemukan bahkan di kota asalnya sendiri. Maka usaha yang dapat dilakukan ialah membuat Pasar Beringharjo selalu ramai dengan pengunjung dengan menjaga kenyamanan, kebersihan dan pelayanan pasar itu sendiri yang nantinya secara tidak langsung menambah pendapatan pedagang. Selain harganya yang murah dan terjangkau bagi rakyat kebanyakan, clorot mempunyai keunikan tersendiri dari bentuk dan tampilannya, begitu juga daun yang dipakai untuk  membungkus makanan ini. Clorot harus mampu bertahan di tengah gempuran makanan modern yang sekarang ini telah menggeser kejayaan makanan-makanan tradisional lainnya.

  • KAJIAN PUSTAKA
  1. Berjualan
( Kinkin Suartini, 2010 ) berjualan merupakan usaha usaha dalam rangka menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau usaha menambah penghasilan yang dilakukan dari pekan ( pasar ) ke pekan ataupun berkedai. Tetapi berjualan tidak persis sama dengan berdagang, apalagi dengan konsep dagang.
  1. Makanan tradisional
Makanan tradisional adalah makanan yang berasal dari suatu daerah tertentu yang memberikan ciri khas pada suatu daerah. Makanan tradisional sering disajikan pada acara-acara yang masih memberikan kesan adanya unsur adat, misalnya :
1.      Acara pernikahan
2.      Acara Khitanan
3.      Upacara adat misalnya sedekah laut , pesta panen dan lain sebagainya.
Makanan tradisional banyak macamnya yang dikelompokkan menjadi :
  1. Makanan tradisional yang kering adalah makanan yang tidak mengandung air atau dengan kadar air yang sangat sedikit. Makanan tradisional yang kering biasanya dimasak dengan cara digoreng, di oven atau di panggang. Ciri khasnya dapat bertahan lama dan tidak mudah basi. Contoh : ampyang, renggingan, emping, kripik singkong dan pisang.
  2. Makanan tradisional basah adlah makanan yang banyak mengandung air, cara memasaknya dengan direbus atau dikukus  dan biasanya makanan ini tidak dapat bertahan lama dan cepat basi. Contoh : clorot, wajik, apem dan lain-lain.
Makanan tradisional memiliki peranan antara lan sebagai berikut :
  • Menjadi ciri khas suatu daerah
Tiap daerah memiliki makanan atau kue yang khas. Misalnya Clorot dari Purworejo, empek-empek dari Palembang, lumpia dari Semarang dan lain sebagainya.
  • Sebagai pelengkap dalam acara adat
Suatu upacara adat pasti dilengkapi dengan aneka makanan khas daerah tersebut, baik untuk dimakan ataupun untuk dijadikan sesaji, misalnya untuk di buang ke laut. Makanan tersebut contohnya apem pada acara sekaten di Solo.
  • Sebagai hantaran
Pada acara lamaran, tunangan pengantin atau pada saat upacara ijab qabul, biasanya pihak mempelai pria membawa aneka macam. Dan sekarang makanan-makanan tradisional tersebut jarang ditemukan kecuali pada saat acara-acara seperti diatas. (http://www.gong.tikar.or.id/?mn=sorot&kd=6 )
  1. Pasar
Pasar merupakan ajang pertemuan antar pedagang atau antara penjual dengan pembeli (  Dr. Ir. Muhammad Rasyaf, MS., 1989 : 21 ).
Sedangkan dalam pengertian sederhana pasar adalah sebagai tempat bertemunya pembeli dan penjual untuk melakukan transaksi jual beli barang atau jasa. Menurut ilmu ekonomi pasar berkaitan dengan kegiatannya, bukan tempatnya. Pertemuan penjual dan pembeli dapat terjadi dimana saja, sesuai kesepakatan baik di ruko, di dalam bus maupun ditempat lainnya. dengan demikian ciri khas sebuah pasar adalah adanya kegiatan transaksi atau jual beli.
Stanton mengemukakan pengertian yang lain tentang pasar yakni kumpulan orang yang mempunyai keinginan untuk puas, uang untuk belanja dan kemauan untuk membelanjakannya. Jadi ada tiga faktor utama yang menunjang terjadinya pasar yaitu orang dengan segala keinginannya, daya belinya serta tingkah laku dalam pembeliannya ( Husein Umar, 2000 : 129 )
Fungsi pasar :
  1. Fungsi distribusi
Pasar berperan sebagai penyalur barang dan jasa dari produsen ke konsumen melalui transaksi jual beli.
  1. Fungsi pembentukan harga
Penjual yang melakukan penawaran barang dan pembeli yang melakukan permintaan atas barang yang dibutuhkannya bertemu melalui transaksi jual beli dengan kesepakatan harga terlebih dahulu.
  1. Fungsi promosi
Pasar juga dapat digunakan untuk memperkenalkan produk baru dari produsen kepada calon kosumennya. Dengan berbagai media pasar melakukan promosi agar calon konsumen tertarik dengan barang yang ditawarkannya.
Jenis- jenis pasar :
  1. Menurut fisiknya
o   Pasar konkret ( pasar nyata ) seperti pasar sayuran, buah-buahan dan pasar tradisional.
o   Pasar abstrak ( pasar tidak nyata ) adalah terjadinya transaksi antara penjual dan pembelinya melalui internet, telepon, contoh : telemarket dan pasar modal.
  1. Menurut waktunya
o   Pasar harian : pasar yang aktivitasnya berlangsung setiap hari dan sebagian barang yang diperjualbelikan adalah barang kebutuhan sehari-hari.
o   Pasar mingguan : pasar yang aktivitasnya berlangsung seminggu sekali, biasanya terdapat di daerah yang belum padat penduduk dan lokasi pemukimannya masih berjauhan.
o   Pasar bulanan : pasar yang aktivitasnya berlangsung sebulan sekali, biasanya barang yang diperjualbelikan barang yang akan dijual kembali.
o   Pasar tahunan contoh : pasar yang aktivitasnya setahun sekali, contoh : PRJ            ( Pekan Raya Jakarta )
  1. Menurut barang yang diperjual belikan
o   Pasar barang konsumsi : pasar yang memperjualbelikan barang-barang konsumsi untuk memenuhi kebutuhan manusia
o   Pasar sumber daya produksi : pasar yang memperjualbelikan faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja, tenaga ahli, mesin-mesin dan tanah ( Mila Saraswati,   2007 )
Pasar merupakan mata rantai yang menghubungkan antara produsen dan konsumen, ajang pertemuan antara penjual dan pembeli, antara dunia usaha dan masyarakat. Pasar memainkan peranan yang sangat penting dalam perekonomian. Semula pasar berarti suatu tempat dimana pada hari tertentu para penjual dan para pembeli dapat bertemu untuk jual beli barang. Para penjual menawarkan barang ( beras, atau buah-buahan, dsb ) dengan harapan dapat laku terjual dan memperoleh sekadar uang sebagai gantinya. Para konsumen datang ke pasar untuk berbelanja dengan membawa uang untuk membayar harganya. Ini pasar dalam arti asli atau konkret. Tetapi lama-kelamaan, disekitar pasar banyak toko dan kios dibangun shopping centre atau pusat perbelanjaan, supermarket, dan mall, barang yang dibutuhkan dapat juga dipesan melalui telepon atau surat atau e-mail sehingga pertemuan antar penjual dan pembeli untuk jual beli barang tidak lagi terbatas pada suatu tempat tertentu saja( apalagi pada hari tertentu), ini merupakan pasar dalam arti luas ( T. Gilarso, 2004 )

Ø  Pasar Beringharjo
Cuci mata di Yogyakarta seperti ada sesuatu yang hilang bila belum mengunjungi Pasar Beringharjo. Pasar legendaris ini dibangun tak lama setelah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri tahun 1758. Beringharjo yang secara harafiahnya hutan pohon beringin yang diharapkan memberikan kesejahteraan bagi warga Jogja. Beringharjo merupakan pasar pertama dan utama. Surga pelancong pemburu soevenir dengan harga miring, ada yangko, emping, peyek tumpuk, wingko, ampyang, dsb ( Syafaruddin Murbawono, 2009 )
Pasar beringharjo surga penikmat “jajan pasar”. Pasar Beringharjo berada di Jl. A. Yani No. 16. Pasar ini merupakan pasar tertua di kota Yogyakarta yang masih hidup hingga kini. Sekalipun pasar tradisional namun bagi masyarakat Jogja, pasar ini tidak mungkin akan tergusur oleh kehadiran banyak mall yang kini bermunculan di Jogja. Keberadaannya justru semakin menegaskan kekhasan Jogja sebagai kota yang klasik, romantis namun tidak ketinggalan zaman. Pasar ini memiliki sejarah yang cukup panjang di dalam perkembangan kota Yogyakarta sendiri. Pasar Beringharjo menyediakan batik, sepatu dan tas, sembako, bahan dasar jamu tradisional maupun barang antik. Alasan banyak orang suka berbelanja disini cukup sederhana, yakni bisa tawar-menawar sesuka hati. Selain itu pasar ini juga sangat terkenal sebagai pusatnya berbagai macam jajanan pasar khas jogja yang rasanya tidak kalah lezat dengan panganan modern. Tak Cuma lezat, makanan tradisional ini pun dikemas dengan cara tradisional dan harganya pun murah. Di depan bagian pasar, kita dapat menemukan kue kipo makanan khas kota gede yang terbuat dari tepung ketan, pecel urap yang dipincuk dengan daun pisang, mendut dan mega mendhung, wajik dan sagon, sate manis, gado-gado, krasikan, klepon, ketan bakar, buntil, ada juga lemoro yakmi panganan yang terbuat dari beras ketan dan diisi daging yang dicacah hampir mirip dengan lemper yang juga dibungkus dengan daun pisang  dan dikukus. Di Pasar Beringharjo juga ada es cendol, es pisang hijau ataupun es kelapa muda (  Suryo sukendro,  2009 ).

  • METODE PENELITIAN
Saya melakukan penelitian terhadap pedagang clorot di Pasar Beringharjo dengan menggunakan metode yang pertama yaitu Deskriptive Integration. Penelitian dengan menggunakan metode Deskriptive Integration memudahkan saya untuk menggali informasi yang selengkap-lengkapnya tentang pedagang “clorot” di pasar Beringharjo karena dengan metode ini, saya tidak hanya mengamati dan melakukan observasi tetapi juga mewawancarainya secara langsung dan penelitian juga dilakukan secara berulang-ulang yaitu sebanyak 3 kali :
1.      Tanggal 9 Desember 2010 ;
2.      2 Januari 2011 ; dan
3.     12 Januari 2011 pada objek yang sama di Pasar Beringharjo, dari situ saya dapat mengetahui perbedaan dan perubahan secara rinci pada objek yang diteliti.

PEMBAHASAN

Sejarah Pasar Beringharjo
Sebelum saya membahas tentang mata pencaharian yang terbilang jarang ditemukan di Pasar Beringharjo, alangkah baiknya jika saya mengulas sedikit tentang sejarah berdirinya Pasar tersebut yang sampai sekarang masih tersohor sebagai jantung perekonomian masyarakat kota Yogyakarta dan sekitarnya agar wawasan kita bertambah.
Sejarah Pasar Beringharjo berawal ketika Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat baru berdiri tahun 1758. Sang Sultan pun mencari lokasi di sekitar keraton dan dipilihlah tempat yang kala itu merupakan hutan beringin. Maka dari itu dinamakan Beringharjo dimana Bering merupakan pohon beringin dan Harjo merupakan makmur. Kira-kira terjemahan bebasnya adalah pasar yang akan selalu memberikan kemakmuran dan keberkahan bagi para warganya. Pembangunan pasar ini merupakan salah satu bagian dari rancang bangun pola tata kota Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang biasa disebut pola Catur Tunggal dengan cakupan empat hal, yakni keraton sebagai pusat pemerintahan, alun-alun sebagai ruang publik, masjid sebagai tempat ibadah, dan pasar sebagai pusat transaksi ekonomi. Secara penempatan, Pasar Beringharjo berada di bagian luar bangunan Keraton Yogyakarta (njobo keraton), tepatnya di utara Alun-alun Utara. Wilayah ini kemudian dijadikan tempat transaksi ekonomi oleh warga Yogyakarta dan sekitarnya. Ratusan tahun kemudian Keraton Yogyakarta memandang perlu membangun pasar yang lebih representatif. Oleh sebab itu, pada 24 Maret 1925, Nederlansch Indisch Beton Maatschappij (Perusahaan Beton Hindia Belanda) ditugaskan membangun los-los pasar. Pada akhir Agustus 1925, 11 kios telah terselesaikan dan yang lainnya menyusul secara bertahap. Sejak itulah Pasar Beringharjo terus berkembang sampai sekarang yang berdampingan persis dengan Malioboro, salah satu ikon nya kota Yogyakarta. Karena lokasinya itulah hampir tiap hari tidak pernah sepi oleh pengunjung. Yang paling menarik dan ramai pengunjung adalah sisi pasar bagian barat yang menjual berbagai macam jenis batik dari baju, kaos, kain batik, sarimbit, semuanya ada disana.

Hasil Penelitian
Penelitian pertama
Penelitian pertama saya lakukan pada hari kamis tanggal 9 desember 2010. Saya dan teman-teman Sosiologi Reguler pergi ke pasar bringharjo untuk melakukan pendataan, dan mencermati serta mendeskripsikan mata pencaharian yang ada di pasar tersebut. Pasar Bringharjo sendiri merupakan pasar tradisional yang paling bersih yang pernah saya jumpai, pasar ini berada di kawasan Malioboro Yogyakarta yang selalu ramai oleh pengunjung baik itu untuk melakukan transaksi jual beli maupun hanya untuk sekedar jalan-jalan. Roda perekonomian disana berjalan sangat cepat, dan itu bagus bagi warga Yogyakarta dan sekitar khususnya untuk mencari nafkah. Pasar tersebut mulai buka pukul 08.00 pagi dan tutup pukul 17.00 sore.
Di sana banyak sekali pekerjaan  yang digeluti oleh masyarakat, baik itu masyarakat lokal maupun pendatang antara lain :
·       Penjual batik baik itu baju maupun bahan. Tidak hanya itu tetapi juga tas dan lain sebagainya yang menggunakan bahan bermotif batik. Sebagian besar pedagang di Pasar Beringharjo memang menjual batik oleh karena itu pasar tersebut di kenal sebagai pusat atau sentra penjualan batik di Yogyakarta.
·       Penjual hanger kerudung. Kita mudah menemukan penjual hanger ini di pintu atau gerbang masuk Pasar, saya sendiri sempat mewawancarai salah satu dari penjual hanger kerudung yang bernama Wiwin. Dia mengaku hanya mempunyai satu pekerjaan sebagai  penjual hanger krudung, tidak ada pekerjaan sampingan. Dia sudah berjualan selama 4 tahun, hanger yang dijualnya dibuat sendiri bersama teman dan tetangga-tetangganya, dari hasil berjualan dia mendapatkan untung yang tidak banyak tapi cukup untuk menyambung hidup.
·       Di pasar bringharjo juga terdapat pedagang jual beli emas dan perak yang banyak ditemukan di sudut-sudut pasar.
·       Penjual sepatu, sandal dan tas.
·       Penjual kerudung dan busana muslim berada di lantai 2 pasar Beringharjo, yang menyediakan banyak pilihan model kerudung dan busana muslim.
·       Pasar Beringharjo sebelah timur menjual bahan-bahan pembuatan jamu, kerajianan tangan, dan aneka macam bumbu masak.
·       Dan masih banyak lagi.
Sedangkan mata pencaharian dengan menjual jasa yang ada di pasar Beringharjo  antara lain kusir andong, tukang becak, kuli panggul, penjaga WC, dan satpam. “Orang yang yang menekuni pekerjaan sebagai kuli panggul kebanyakan berasal dari luar daerah seperti Kulonprogo, Wates dan sampai ke Wonosari. Para kuli panggul biasanya tidur di pinggir-pinggir jalan dan tidak sedikit juga yang tidur di pasar tepatnya di lantai tiga sebelah timur, karena mereka tidak ngekos atau mempunyai rumah pribadi disekitar pasar Beringharjo. Kuli panggul sendiri merupakan pelayanan jasa angkut, sehingga upah mereka setiap kali angkut ialah seikhlasnya, mereka tidak mematok harga dan mereka mau di bayar Rp.1000,00 sekalipun. Bagi mereka pekerjaan yang mereka lakukan selama ini telah memberi kepuasan tersendiri, dan ternyata mereka bisa bertahan hidup meskipun penghasilannya kecil bahkan tak menentu. Kebanyakan kuli panggul itu sendiri sudah tua, tetapi mereka masih sangat kuat untuk memikul beban yang sangat berat, karena kebanyakan dari mereka telah bekerja sebagai kuli panggul sejak masih muda sehingga sudah terbiasa”, kata salah seorang pedagang tas yang bernama Bu Wati.
Kesulitan yang dihadapi
Awalnya saya kesulitan dalam melakukan penelitian dan pembuatan laporan penelitian karena berbagai alasan antara lain :
1.      Tidak fokus pada penelitian ;
2.    Saya sendiri masih yang bingung menentukan topik penelitian dan kurangnya kepercayaan diri untuk melakukan wawancara kepada pedagang, karena laporan penelitian tidak cukup dengan sekadar observasi atau pengamatan. Saya takut akan mengganggu aktivitas berdagang mereka jika saya tetap melakukan wawancara ;
3.    Cuaca yang tidak menentu, kadang cuaca sangat terik tapi bisa saja tiba-tiba turun hujan yang sangat deras, sehingga mengganggu ketika akan berangkat melakukan penelitian ;
4.    Kurangnya bahan bacaan sehingga susah dalam menulis kajian pustaka ;
5.    Tidak mempunyai keberanian melakukan penelitian sendiri.
Tetapi akhirnya kesulitan-kesulitan tersebut dapat diatasi dan setelah lama berkeliling pasar Beringharjo, saya bertemu dengan seorang pedagang makanan tradisional yang membuat saya tertarik sehingga saya memutuskan  penjual makanan tradisional ini menjadi objek penelitian, dibandingkan pekerjaan atau mata pencaharian lain seperti penjual hanger yang sempat saya wawancarai. Makanan tradisional yang di jual oleh Bu Purwanti bernama Clorot. Clorot merupakan makanan khas yang berasal dari Purworejo tepatnya dari Kecamatan Grabag. Kabupaten Purworejo sendiri berada di sebelah barat Daerah Istimewa Yogyakarta yang hanya membutuhkan waktu satu jam perjalanan dari sana untuk sampai ke Yogyakarta jika menggunakan kereta api. Clorot terbuat dari adonan tepung beras dan gula merah yang dikukus, rasanyapun gurih manis dan kenyal. Yang unik dari Clorot adalah cara membungkusnya, menggunakan daun kelapa muda, dibuat melingkar, berulin, memanjang, tengahnya diisi adonan, lalu dikukus. Untuk makan kudapan ini, kita bisa memencet bagian bawah bungkus janurnya, sehingga adonan clorot akan muncul keluar. Sayangnya kue Clorot ini termasuk kue tradisional jawa yang nyaris punah. Sekarang kue ini sangat susah ditemukan keberadaanya bahkan di kota asalnya kecuali pada saat ada perayaan-perayaan tertentu, tetapi tanpa sengaja saya menemukan pedagang Clorot di Pasar Beringharjo yang bersedia diwawancarai meskipun sedang sibuk berdagang dan mau berbagi tentang bahan dan cara pembuatannya, yaitu sebagai berikut :
BAHAN:
1 lt santan kelapa
250 gr gula merah
250 gr tepung beras, ayak
3 lbr daun pandan
2 sdt garam dan air secukupnya
serta janur kelapa (daun kelapa yang muda)
*      Banyaknya bahan tergantung dari banyaknya Clorot yang akan kita buat dan hasil yang di peroleh tergantung dari keahlian kita mengolah dan memasaknya.
CARA MEMBUAT:
  • Janur : buang tulang tengah janur. Ambil selembar, dari ujungnya putar janur hingga membentuk kerucut. Bagian bawah harus rapat agar tidak bocor. Semat janur di bagian atasnya agar janur tak lepas. Sisihkan.
  • Didihkan santan, gula merah, pandan dan garam. Aduk-aduk terus agar santan tidak pecah. Saring untuk memisahkan kotoran gula merahnya. 
  • Tuangkan cairan santan ke tepung beras, aduk-aduk hingga rata dan licin. 
  • Tata kerucut janur di atas kukusan menghadap ke atas. Tuangi adonan hingga penuh.
  • Kukus selama 30 menit hingga adonan matang, dan sajikan.
 
TIPS & TRIK:
  • Bungkus tutup kukusan dengan kain agar uap airnya tidak menetes ke kudapan.
  • Kalau ingin nuansa rasa yang berbeda, bisa saja tambahkan irisan nangka ke adonan clorot ini.
Makanan ini sendiri tidak banyak tersedia di pasar, hanya di beberapa pasar tradisional dengan harga yang murah dan tentu saja tidak akan menguras kantong. Tetapi biasanya makanan ini menjadi hidangan khas jikalau ada kegiatan seperti hajatan, syukuran perkawinan, sunatan, dan lain sebagainya.
            Profil Bu Purwanti
Bu Purwanti atau biasa di panggil Bu Pur berumur 40 tahun. Beliau berasal dari Grabag, salah satu Kecamatan di Kabupaten Purworejo. Beliau mempunyai 3 orang anak yang semuanya masih berada di bangku sekolah yang membutuhkan biaya sekolah yang tidak sedikit. Untuk meringankan suaminya yang bekerja sebagai Buruh tani di desa, dia berjualan clorot di Pasar Beringharjo. Clorot tersebut ia buat sendiri, keahlian membuat clorot juga ia dapatkan dari Ibunya sejak dahulu. Beliau pergi ke Pasar Beringharjo menggunakan kereta api Prambanan express ( Pramex ) atau kereta api Logawa. Beliau mengaku tidak setiap hari datang untuk berjualan di Pasar Beringharjo, hanya saat hari-hari tertentu saja atau saat sedang tidak ada pekerjaan di desa (menganggur), biasanya kalau sedang tidak musim tanam padi atau juga saat liburan sekolah karena pekerjaan utama beliau sebenarnya ialah buruh tani sama seperti suaminya, ”kalau waktu liburan sekolah pasarnya lebih ramai daripada sekarang sehingga dagangan lebih cepat laku terjual dan lumayan bisa buat membayar SPP sekolah anak saya”, tutur Bu Pur. Ia sendiri tetap setia membuat clorot dan berjualan di pasar beringharjo meskipun hanya sebagai pekerjaan sampingan saja, tetapi paling tidak beliau sudah berkontribusi dalam melestarikan makanan tradisional yang sekarang ini sudah mulai terpinggirkan oleh makanan dengan tampilan yang lebih modern.
Biasanya ia berangkat dari stasiun Kutoarjo pukul 05.00 pagi dan sampai Stasiun Tugu pukul 06.00 pagi WIB. Tapi waktu itu, beliau mengatakan ia kesiangan, berangkat dari rumah pukul 11.00 siang menggunakan kereta api Logawa sehingga jualannya masih tersisa banyak, padahal waktu telah menunjukkan pukul 15.00 WIB. Bu Pur berjualan clorot menggunakan keranjang, beliau berjualan tidak menetap pada satu tempat di Pasar Beringharjo karena ia tidak mempunyai los untuk berjualan. Setelah saya amati kebanyakan yang membeli dagangannya ialah ibu-ibu paruh baya, jarang sekali anak muda tertarik untuk membelinya. Clorot yang dijual oleh Bu Pur harganya Rp. 5000,00 per 1 ikat yang 1 ikatnya ada 8 buah clorot. Dengan harga terjangkau dan tidak menguras kantong, kita sudah dapat menikmati makanan tradisional ini. Dimana proses pembuatan clorot ini sangat rumit dan membutuhkan ketlatenan atau ketekunan.
Penelitian Kedua
Penelitian kedua saya lakukan pada hari Minggu tanggal 2 Januari 2010. Suasana Pasar Beingharjo masih tetap sama seperti waktu saya melakukan penelitian pertama yaitu hiruk pikuk dengan aktivitas pasar pada umumnya. Saya menghampiri tempat Bu Pur berjualan clorot waktu itu, berharap menemukan beliau disana dan ternyata tidak. Lalu saya memutuskan untuk mencari dan berkeliling pasar mungkin dengan cara itu saya dapat bertemu dangan beliau yang sedang menjajakkan dagangannya di tempat lain, tapi sekian lama saya mencari Bu Pur tak jua saya bertemu dengannya.
Dari kejadian tersebut saya teringat tentang apa yang dikatakan oleh Bu Pur bahwa beliau berjualan clorot di Pasar Beringharjo hanya di hari-hari tertentu saja atau jika sedang tidak ada pekerjaan di desa. Jadi saya dapat menarik kesimpulan sementara bahwa Bu Pur sedang bekerja di desa atau mungkin dia tetap berjualan clorot di Pasar Beringharjo hanya saja saya tidak dapat menemukannya, maklum saja karena Bu Pur tidak mempunyai tempat   ( los ), sehingga sangat sulit bertemu dengannya meskipun di dalam Pasar yang sama karena kita tahu Pasar Beringharjo sangat luas.
Penelitian ketiga
Penelitaian ketiga ini merupakan penelitian terakhir. Saya melakukan penelitian ini bersama Arfina pada hari Rabu, 12 Januari 2011. Waktu tiba di Pasar Beringharjo saya berharap bertemu kembali dengan Bu Pur, tetapi kali ini saya juga tidak menemukannya di tempat ia berjualan seperti pada saat penelitian yang kedua. Sayapun bertanya dengan penjual es teh disamping biasanya Bu Pur berjualan, ia mengatakan bahwa Ibu yang berjualan Clorot memang jarang berjualan lagi di Pasar Beringharjo sejak satu minggu yang lalu.
Setelah tiga kali ke pasar Beringharjo dan dua kali tidak menemukan Bu Pur disana. Saya menyimpulkan dengan membuat hipotesis ( jawaban sementara ) kenapa beliau sulit ditemui atau tidak selalu ada di Pasar Beringharjo, antara lain sebagai berikut :
    1. Karena pekerjaan sebagai penjual clorot yang digeluti Bu pur merupakan sebagai pekerjaan sampingan, bukan pekerjaan utama sehingga dia tidak setiap hari berjualan di pasar beringharjo.
    2. Beliau mendapatkan pekerjaan atau sedang bekerja di desa sebagai buruh tani.
    3. Beliau sedang berkeliling berjualan di Pasar Beringharjo.


PENUTUP

§  KESIMPULAN

1.         Pasar Beringharjo merupakan pusat kegiatan ekonomi masyarakat Yogyakarta selama ratusan tahun dan keberadaannya mempunyai makna filosofis. Pasar yang telah berkali-kali dipugar ini melambangkan satu tahapan kehidupan manusia yang masih berkutat dengan pemenuhan kebutuhan ekonominya.
2.         Clorot merupakan makanan khas yang berasal dari Purworejo tepatnya dari Kecamatan Grabag. Clorot terbuat dari adonan tepung beras dan gula merah yang dikukus, rasanyapun gurih manis dan kenyal. Yang unik dari Clorot adalah cara membungkusnya, menggunakan daun kelapa muda, dibuat melingkar, berulin, memanjang, tengahnya diisi adonan, lalu dikukus. Untuk makan kudapan ini, kita bisa memencet bagian bawah bungkus janurnya, sehingga adonan clorot akan muncul keluar.
3.         Clorot sudah jarang ditemukan sekalipun di Pasar Tradisional, karena sekarang jarang orang yang berminat menjual makanan tradisional. Clorot sebagai makanan tradisional harus di lestarikan keberadaanya karena makanan-makanan tersebut tidak kalah enak di bandingkan makanan modern lainnya.
4.         Bu Pur berjualan clorot di Pasar Beringharjo hanya sebagai pekerjaan sampingan.

§  SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka dapat diusulkan beberapa saran untuk perbaikan penelitian terhadap penjual clorot di Pasar Beringharjo dengan metode Deskriptive Integration  selanjutnya :
1.      Untuk mendapatkan hasil penelitian yang maksimal, lakukan wawancara langsung kepada penjual, dengan mempersiapkan dahulu bahan-bahan  pertanyaan-pertanyaan yang disusun secara sistematis dan terarah sesuai dengan permasalahan yang akan dihimpun dan jangan melontarkan pertanyaan yang jawabannya ya atau tidak ;
2.      Banyak membaca di sekitar permasalahan yang akan di pertanyakan sehingga peneliti cukup mampu manakala harus terjadi dialog dengan informal ;
3.      Perbanyaklah referensi buku yang di baca untuk dapat menulis kajian pustaka dengan baik dan benar ;
4.      Jangan mudah putus asa karena penelitian itu sendiri membutuhkan kesabaran dalam menggali semua informasi.

DAFTAR PUSTAKA

Maryaeni, Metode Penelitian Kebudayaan, Jakarta: Bumi Aksara, 2005.

Mulder, Niels, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Yogyakarta: Gadjah Mada
              University Press, 1986.
Gazalba, Sidi, Antropologi Budaya I, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Endraswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta: Gadjah Mada
              University Press, 2006.
http://www.gong.tikar.or.id/?mn=sorot&kd=6, diakses tanggal 15 Januari 2010.

               tanggal 15 Januari 2010







Tidak ada komentar:

Posting Komentar