Kamis, 17 November 2011

MENJAGA KERUKUNAN DI TENGAH PERBEDAAN DEMI TERWUJUDNYA INDONESIA YANG DAMAI

Tulisan ini di buat untuk memenuhi tugas mata kuliah pend. pancasila di semester 2 lalu...yang kemudian saya tulis kembali di blokku ini....


Latar belakang
Indonesia merupakan negara yang masyarakatnya plural. Pluralitas masyarakat Indonesia tidak saja karena keanekaragaman suku, ras, bahasa tetapi juga dalam agama atau kepercayaan yang dianut ( Martono, Hidup Berbangsa dan Etika Multikultural, Surabaya: Forum Rektor Simpul Jawa Timur, 2003: 3 )  Dan seringkali agama menjadi alat provokasi dalam menimbulkan ketegangan atau konflik diantara umat beragama atau bahkan di dalam satu agama tertentu yang  memiliki perbedaan pandangan. Agama atau lebih tepatnya dalam lingkungan penganut agama, selalu ada potensi negatif dan pengrusakan yang amat berbahaya ( Syafa’atun Emirzanah, dkk., Pluralisme, konflik dan perdamaian, Yogyakarta: DIAN, 2002: 114 ). Dan salah satu yang merusak reputasi Indonesia saat ini adalah tindak kekerasan yang berlatar belakang perbedaan agama atau keyakinan itu sendiri, yang akhir-akhir ini marak dilakukan,
banyak kasus yang menunjukkan hal itu. Kita bisa menyebutnya dari mulai kerusuhan di Tasikmalaya, Sambas, perang agama di Maluku, kerusuhan agama di Nusa Tenggara Timur dan belakangan ini di Desa Umbulan, Cikeusik Pandeglang Banten terjadi penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah disertai dengan pembakaran dan pengrusakan rumah yang menyebabkan tiga orang tewas.
Kenyataan-kenyataan ini mengagetkan kita, sebab konon orang Indonesia sangat toleran satu dengan yang lain ( Yewangoe, Agama Dan Kerukunan, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2009: 15 ). Dan tentu saja kita tidak menutup mata, bahwa sebagian tindak kekerasan itu sebagai bentuk ketidakpercayaaan rakyat yang sangat akut, akan tetapi apapun alasannya dilihat dari sudut etika kemanusiaan, tindakan itu jelas merupakan tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia dan agama. Serta semboyan Bhineka tunggal ika, kini hanyalah menjadi semboyan belaka, yang seharusnya semboyan itu dapat diterapkan dalam hidup berbangsa dan bernegara dengan saling menghormati dan toleran terhadap perbedaan yang ada untuk membangun kebersamaan, serta tekad, semangat, dan upaya untuk mewujudkan cita-cita bersama.
Rumusan masalah
1.     Apa penyebab timbulnya konflik atau penyerangan terhadap Jemaah Ahmadiyah dan bagaimana islam memandang kasus kekerasan tersebut ?
2.           Apa saja dampak dari adanya kejadian tersebut ?
3.      Bagaimana solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut agar tidak terulang lagi di masa depan sehingga tercipta Indonesa yang damai ?
Pembahasan
JAKARTA, KOMPAS.com — Kapolri Jenderal Timur Pradopo, pada rapat kerja dengan Komisi VIII DPR RI, Rabu(9/2/2011) malam, tentang Penanganan Tindak Kekerasan dan Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, secara resmi mengungkapkan kronologis insiden penyerangan terhadap pengikut Ahmadiyah di Cikeusik. "Pada hari Jumat tanggal 4 Februari 2011, Kapolsek Cikeusik menerima laporan melalui SMS bahwa akan ada pengusiran yang dilakukan oleh warga masyarakat Cikeusik terhadap saudara Ismail Suparman, yang diduga sebagai warga Jemaah Ahmadiyah. Selanjutnya, pada tanggal 5 Februari, kepolisian melakukan pendekatan terhadap Suparman. "Lalu, pada hari Minggu tanggal 6 Februari sekitar pukul 07.00, saudara Deden dan 15 pengikut Ahmadiyah lainnya yang berasal dari Jakarta mendatangi rumah saudara Suparman," kata Kapolri. "Melihat gelagat tersebut, warga masyarakat Cikeusik yang berjumlah sekitar 1.500 orang mendatangi rumah tersebut. Sebelumnya pihak Polres Pandeglang telah mempersiapkan anggota yang dipimpin Kapolsek dan Kasat Samapta untuk mengamankan lokasi tersebut, dan berupaya untuk mengevakuasi warga Ahmadiyah. Namun, mereka menolak dan menentang. "Saudara Deden juga mengeluarkan kata-kata yang bernada menantang masyarakat, sehingga menyulut emosi massa dan terjadi baku lempar dan penyerangan oleh warga masyarakat. Mengingat jumlah massa yang cukup banyak, sehingga situasi tidak terkendali dan jatuh korban jiwa dari pihak pengikut Ahmadiyah, katanya ( http://lipsus.kompas.com/topicpilihanlist/1163/ Penyerangan.Jamaah.Ahmadiyah.Cikeusik diakses tgl 24/02/11, 14.00 wib )
         Masyarakat yang berdasarkan Pancasila, dengan sendirinya dijamin kebebasan memeluk agama masing-masing. Dengan payung Ketuhanan Yang Maha Esa itu, maka bangsa Indonesia mempunyai satu asas yang dipegang teguh yaitu bebas untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama masing-masing, tidak ada pemaksaan atau orang dapat memeluk agama dalam suasana bebas, yang mandiri. Oleh karena itu dalam masyarakat pancasila, agama dijamin berkembang dan subur serta konsekuensinya ialah diwajibkan adanya toleransi antar umat dalam beragama, negara juga harus memberi fasilitator bagi tumbuh dan berkembangnya agama serta menjadi mediator ketika terjadi konflik antar agama ( Rukiyati,dkk., Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: UNY Press, 2008: 66 ). Dan masalah yang terjadi sekarang berkaitan dengan Pancasila sila pertama, dimana di satu sisi pemerintah harus melindungi kebebasan warganya untuk beribadah sesuai kepercayaannya disisi lain, pemerintah juga harus mengambil tindakan untuk membubarkan Ahmadiyah yang melanggar hukum dalam hal penistaan agama, dan sekaligus mencegah tindak kekerasan terhadap kaum minoritas tersebut.
Penyebab terjadinya konflik
    Tidak ada asap kalau tidak ada api, setiap kejadian atau peristiwa tertentu pasti ada penyebabnya seperti halnya penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah. Pemicu awal aksi kekerasan terhadap kaum minoritas secara tidak langsung ialah MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dan menyesatkan yang perlu dibubarkan karena bertentangan dengan agama Islam yang menyakini ada nabi terakhir setelah Nabi Muhammad SAW, dan kemudian oleh masyarakat dijadikan alasan untuk menghalalkan tindakan kekerasan untuk membubarkan Ahmadiyah terlebih lagi setelah pemerintah tak kunjung melaksanakan fatwa MUI tersebut. Namun jika kementrian agama dapat menyosialisasikan SKB 3 Menteri kepada masyarakat dengan baik dan tepat, kerusuhan yang berbau SARA itu seharusnya bisa dicegah, begitu pula jika semua pihak menghargai SKB 3 menteri tersebut sebagai solusi untuk memecahkan masalah. Akibat ketidakberhasilan SKB 3 Menteri, Pemerintah dalam waktu dekat akan mengkaji ulangnya.
Selain yang disebutkan diatas ketegangan antara kaum mayoritas dengan kaum minoritas, disebabkan antara lain, karena :
1.           Umat beragama seringkali memonopoli kebenaran ajaran agamanya, sementara kepercayaan lain diberi label tidak benar atau salah. Sikap seperti ini langsung maupun tidak langsung dapat memicu timbulnya suatu konflik;
2.      Umat beragama sering kali bersikap konservatif, merasa benar sendiri sehingga tak ada ruang untuk melakukan dialog kritis dan bersikat toleran terhadap kepercayaan atau agama lain. 
Dua sikap keagamaan seperti itu membawa implikasi adanya keberagaman yang tanpa peduli terhadap keberagaman orang lain sehingga menyebabkan keretakan hubungan antar umat beragama ( Ajat Sudrajat, Din Al-Islam, Yogyakarta: UNY Press, 2009: 140 ). Terjadi krisis moral dan spiritual pada bangsa Indonesia, disintegrasi dan konflik antar agama dan didalam tubuh agama itu sendiri juga merupakan akibat dari meninggalkan Pancasila, karena butir-butir Pancasila sebenarnya dapat dijadikan rujukan pembentukan sikap dasar atau akhlak manusia. (http://students.ittelkom.ac.id/web/viewtopic diakses tgl 24/02/11, 14.33 wib).
Dan penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Cikeusik seharusnya dapat diantisipasi, jika polisi cepat tanggap dalam menangani kasus ini, dengan menyiapkan pasukan pengendali massa yang tidak sedikit, bukan sebaliknya dan alat pertahanan yang memadai. Namun dalam peristiwa tersebut, pihak kepolisian tidak mampu berbuat apa-apa, dan terkesan melakukan pembiaran serta tidak dapat mencegah massa yang melakukan pembakaran rumah dan mobil dengan alasan kalah jumlah, dimana alasan tersebut dirasa tidak masuk akal karena sebelumnya pihak kepolisian sudah mengetahui akan ada sebuah penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah melalui sms.
Kasus kekerasan di Cikeusik Pandeglang Banten dan sejumlah  peristiwa lain, menyiratkan bahwa Islam menghalalkan kekerasan dalam mengatasi masalah, padahal itu salah besar. Karena Islam menentang kekerasan dalam bentuk tindakan tidak adil terhadap orang lain dan tindakan melawan hukum. Hukum Islam mengakui dan menjamin hak-hak asasi manusia, bukan hanya kaum Muslim tetapi juga penganut agama lain. Kalaupun terjadi pelanggaran dalam masyarakat Islam, itu bukan disebabkan oleh ajaran Islam tetapi karena ketidaksempurnaan manusia yang menerima Pesan Ilahi ( Yewangoe, Agama Dan Kerukunan, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2009: 43 ).  Islam adalah agama yang menganjurkan hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain. Manusia dalam perspektif Islam adalah khalifah Tuhan yang dianugrahi ilmu ( akal ) dan kecenderungan pada kebenaran, bertugas untuk “bekerjasama” dengan Tuhan dalam membangun bumi ( Q.S 2:30 dan 17:70 )( http://www.csrc.or.id/artikel/?detail20100715171940 diakses tgl 24/02/11, 15.00 wib ) Islam memang mengenal peperangan, tetapi peperangan yang diperbolehkan Islam adalah peperangan dalam arti pertahanan ( pembelaan diri ) bukan penyerangan (agresi) seperti yang terjadi di Cikeusik yang akan merusak dan mengubur image Islam sebagai agama yang membawa nilai keselamatan, kedamaian ( Nurcholish Madjid, dkk., Fiqih Lintas Agama, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan The Asia Fondation, 2004: 175)
Dampak dari adanya konflik
Dampak positif dari adanya kasus ini yaitu sebagai bahan intropeksi diri bagi pihak aparat keamanan dalam menjaga keamanan dan kenyaman warganya dalam mengatasi masalah yang berbau SARA sehingga tidak sampai terulang lagi kasus-kasus seperti ini dengan cara pemerintah harus cepat mengambil tindakan yang konkrit dan tepat yang tidak merugikan kedua belah pihak. Sedangkan menurut Soemarmo, Sosiologi Suatu Kajian Tentang Masyarakat, Yogyakarta: Yudhistira, 2007: 41, dijelaskan bahwa dampak secara langsung yang dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik di Cikeusik atau sisi negatif dari konflik tersebut yaitu sebagai berikut :
1.      Menimbulkan keretakan hubungan antara individu atau kelompok dengan individu atau kelompok lainnya yaitu dari pihak yang pro Ahmadiyah dengan yang kontra;
2.      Adanya perubahan kepribadian seseorang seperti selalu memunculkan rasa curiga, rasa benci satu sama lain;
3.      Hancurnya harta benda karena dibakar oleh massa dan menyebabkan adanya korban jiwa dan lain sebagainya yang merugikan banyak pihak.
Dalam negara yang berdasarkan Pancasila ini, segala sesuatunya harus disesuaikan dengan landasan hukum negara yang mengaturnya. Untuk itu pemerintah harus bisa berlaku lebih tegas dalam melaksanakan rekomendasi umat Islam melalui MUI yang telah memfatwakan ajaran Ahmadiyah itu sesat dan keluar dari Islam, namun sekarang pemerintah sudah kehilangan kredibilitasnya, sehingga rakyat sering menerapkan hukum jalanan dengan turun tangan dan mengambil tidakan main hakim sendiri yang tentunya merugikan banyak orang ( www.al-idrisiyyah.com/read/conten diakses tgl 25/02/11, 16.13 wib ). MUI juga harus membuka kembali dialog dengan Ahmadiyah secara terbuka. Menjelaskan bahwa kepercayaan yang mereka anut telah menistakan agama Islam itu sendiri.
Solusi untuk mengatasi konflik
         Kasus penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah tersebut merupakan masalah sosial menyangkut tata kelakuan yang immoral, berlawanan dengan hukum dan bersifat merusak ( Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengatar, Jakarta: Rajawali Pers, 2009: 311 ). Untuk itu, dalam menyelesaikan masalah serius ini pemerintah harus berhati-hati, karena konflik yang menyangkut masalah agama sangatlah sensitif. Disisi lain pihak kepolisian sepatutnya segera manangkap semua orang yang terlibat dalam penyerangan tersebut dan mengusut tuntas kasus ini, karena mereka telah berbuat anarkhis yang menyebabkan korban jiwa dan harta benda. Dan membuktikan apakah penyerangan tersebut telah terorganisasi untuk kepentingan pihak-pihak tertentu yang memiliki rencana besar ataukah tidak, jika memang benar ada dalang dibalik semua peristiwa ini, hukum dia seberat-beratnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku ( www.metronews/ metro highlight diakses tgl 25/02/11, 17.03 wib ).
Ketika kita dapat saling menghormati, menghargai dan toleransi, tindakan kekerasan dan penyerangan mungkin tidak akan terjadi, dan perdamaian dalam konteks kehidupan pluralisme agama dapat terwujud. Tetapi rasa hormat dan menghargai ini, bukan karena kepentingan tertentu namun dengan tulus, jujur dan kondusif. Ini bisa terjadi bila masing-masing mampu menguatkan dirinya agar tidak mudah dipengaruhi oleh apa pun dan siapa pun juga, yang akan memakai agama atau memperalat umat beragama untuk melakukan hal-hal yang buruk. Bisa juga karena masyarakat mampu membebaskan dirinya dari pikiran dan sikap absolutisme-doktriner dan menerima serta terbuka terhadap sikap dan pikiran-pikiran pluralis ( Safa’atun, dkk., Pluralisme, Konflik, dan Perdamaian, Yogyakarta: DIAN, 2002: 12 ). Masyarakat juga harus kembali pada ajaran agamanya masing-masing yang menyejukkan dan memajukan pergaulan di antara sesama.
Dalam mewujudkan kerukunan dan kebersamaan dalam pluralitas agama, dalam Q.S. An-Nahl (16): 125 dianjurkan dialog dengan baik. Dialog tersebut dimaksudkan untuk saling mengenal dan memperkaya wawasan kedua belah pihak dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan untuk hidup rukun dalam kehidupan masyarakat( Jamal Syarif Iberani, Mengenal Islam, Jakarta: El-Kahfi, 2003: 219) Jika semua masyarakat Indonesia dapat melakukan hal tersebut, dengan demikian perdamaian bukanlah sebuah mimpi yang bersifat semu melainkan realitas obyektif yang konkrit dialami oleh bangsa ini, karena sesungguhnya pluralisme di negeri ini bukanlah hal baru.
Kesimpulan
Penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten disebabkan oleh kekesalan warga yang sudah memuncak terhadap jemaah Ahmadiyah yang masih menjalankan aktifitas keagamaannya dimana sebelumnya MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah merupakan aliran yang sesat dan menyesatkan yang perlu di bubarkan karena telah menistai agama Islam. Tindakan kekerasan tidak dapat dibenarkan karena merugikan diri sendiri dan tentunya orang lain, seperti menimbulkan keretakan hubungan, memunculkan rasa curiga, rasa benci serta hancurnya harta benda dan korban jiwa. Penyerangan terhadap kelompok tertentu yang mengatasnamakan agama merupakan tindakan yang salah, karena agama manapun tidak mengajarkan kekerasan, MUI harus membuka kembali dialog publik dengan Ahmadiyah secara terbuka sehingga masalah ini cepat terselesaikan sehingga tak berlarut-larut. Dan untuk mewujudkan Indonesia damai, dimana itu merupakan harapan setiap orang maka rakyat Indonesia harus saling menghormati, menghargai perbedaan di tengah pluralisme yang ada dan memahami serta mengakui keberadaan orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar